Peraturan
pemerintah tentang pendidikan sekarang EDAN?
A
|
da orang bilang sekarang jaman edan. Berita tentang maraknya pelaku kasus-kasus
berat yang mendapat hukuman seringan-ringannya. Mulai dari pemerkosaan
sekaligus pembunuhan terhadap pelajar hingga kasus di akhir penghujung mei
2016, seorang guru yang dipenjara akibat mencubit siswa.
Tahukah? Sejatinya setiap peraturan memiliki sisi positif dan negatif.
Mengapa kini pendidik dilarang menggunakan hukuman fisik? Berikut beberapa
alasannya ditinjau dari segi psikologi anak:
1. Anak
merasa takut untuk datang ke sekolah
Anak
yang melakukan kesalahan tidak harus selalu diberikan hukuman fisik. Ketika
hukuman sudah melekat ke dalam memori
anak, maka anak akan cenderung menutup diri dari lingkungan (sekolah). Efeknya
anak akan mulai merasa malas datang ke sekolah karena takut dihukum guru ketika
melakukan kesalahan.
2. Mengurangi
kasus pem-BULLY-an di sekolah
“Sekolah
itu menyenangkan” kata siswa
jaman 90-an. Kalau sekolah dihiasi dengan hukuman-hukuman fisik, setiap hari
anak melihat hukuman fisik di sekolah. Masihkah menyenangkan? Tidak heran
jika dalam memori anak terekam bahwa menghukum (fisik) orang diperbolehkan di
sekolah. Maka akan marak kasus-kasus BULLYING antar siswa.
Lantas
bagaimana jika seorang guru dilarang menghukum siswa. Bukankah tugas guru tidak
hanya mengajar, tetapi juga mendidik?
Betul
sekali, tugas guru memang selain memberikan pembelajaran akademik, guru juga
memiliki tugas untuk memberikan pendidikan moral bagi siswanya. Tidak adanya
hukuman fisik di sekolah bukan berarti tidak ada lagi pendidikan moral. Lalu
bagaimana caranya guru menyampaikan pendidikan moral tersebut?
CARA
MENYIKAPI PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH
1. Tugas
guru yang paling utama adalah mencontohkan bagaimana menjadi pribadi
sebaik-baiknya pribadi. Guru adalah seorang public figur bagi
siswa-siswanya.
2. Menasehat
dan problem solve. Nasehat itu tidak selalu (datang) ketika siswa dalam perilaku yang tidak baik, dalam keadaan
siswa yang sedang baik-baik saja pun guru diharuskan menstimulus (mengingatkan)
siswa untuk tetap menjaga etika yang baik. Ajak siswa untuk berdiskusi tentang masalah-masalah
yang mungkin dapat terjadi di kehidupan sehari-hari dan berikan beberapa
pilihan jawaban untuk mengetahui opsi manakah yang lebih tepat dari
penyelesaian masalah tersebut.
3.
Terapkan “tiga tangga teguran”. Tegurlah jika memang siswa didapati melakukan
kesalahan. Jika teguran pertama tidak dihiraukan oleh siswa, maka guru
diperbolehkan untuk meminta bantuan kepada pihak ketiga (guru BK atau pemimpin)
untuk menasehati siswa. Jika siswa masih melakukan kesalahan, maka lakukan
teguran ketiga melalui Surat Pemberitahuan (SP) kepada orang tua siswa.
BAGAIMANA
SEBAIKNYA PERAN ORANG TUA?
Surat
Pemberitahuan (SP) berfungsi untuk memberitahukan bahwa siswa memiliki
permasalahan yang tidak bisa ditangani hanya dari sisi Sekolah saja. Untuk itu,
orang tua hendaknya mengevaluasi perilaku anak dengan beberapa tahapan,
diantaranya:
1. Bertanya
kepada anak tentang sebab atau alasan ia melakukan kesalahan berturut-turut
2. Datanglah
ke sekolah dan minta penjelasan kepada pihak-pihak yang terlibat di sekolah
3. Lakukan
tinjauan keakuratan antara penjelasan anak dengan penjelasan pihak sekolah
4. Konfirmasikan
bila terjadi perbedaan penjelasan ke sekolah dengan mempertemukan anak dengan
pihak sekolah untuk bermusyawarah yang tentunya dengan tujuan mencari jalan
terbaik bagi anak
Akan
tetapi faktualnya di lapangan tidak semulus apa yang tertulis di sini.
Terkadang belum sampai masuk ke tahap musyawarah justeru emosi sudah mulai naik
ke ubun-ubun. Entah emosi karena mengapa si anak melakukan kesalahan yang sama
secara berturut-turut atau akibat tidak terima jika anak dituding melakukan
kesalahan yang mungkin menurut orang tua adalah sebuah kewajaran.
Untuk itu
perlu disadari beberapa hal yang sebaiknya dihindari, seperti:
1. Melakukan
pembelaan dengan emosi di hadapan anak.
Melakukan
pembelaan secara nyata di hadapan anak akan membuat anak merasa bahwa dirinya
menang. Bagi anak-anak yang memang melakukan kesalahan justeru hal ini akan
membuat anak berpikir bahwa setiap kesalahannya akan selalu mendapat pembelaan
dan perlingdungan dari orang tuanya. Anak akan cenderung melakukan
kesalahan-kesalahan lainnya.
2. Memperkeruh
suasana dengan membawa pihak-pihak yang tidak terlibat (mencampuradukan
pembahasan dengan kasus-kasus yang berbeda)
“kenapa
anak saya yang dihukum? Temannya kemarin ngelakuin kesalahan juga ga dikasih
peringatan kaya anak saya. Kan dia juga sama-sama salah”
Setiap
permasalahan tentunya memiliki cara penyelesaian yang berbeda. Fokuslah pada
inti dari permasalahan si anak dan temukan cara-cara terbaik bagi si anak.
Terkadang orang tua yang overprotektif akan membanding-bandingkan
kesalahan anaknya dengan kesalahan orang lain.
3. Membawa
permasalahan langsung ke ranah hukum tanpa dimusyawarahkan
Tentunya
hal ini akan sangat merugikan bagi kedua belah pihak jika sebelumnya tidak
dilakukan pencerahan. Karena jika sudah memasuki ke ranah hukum, maka yang
bertindak untuk memproses bukan lagi antara orang tua dan guru. Jika sudah
terjadi kesalah-fahaman, maka akan terlihat yang salah bisa jadi benar dan atau
yang benar bisa jadi salah. Perlu diperhatikan bahwa kata “ maaf ” sudah
tidak lagi bisa menjadi penyelesaian yang adil bagi hukum yang berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar