reading book

reading book

Sabtu, 28 November 2015

Dek Mi



Anak kecil yang terlambat berjalan itu berlari kesana kemari bersama kambing peliharaanya di tengah rintik hujan. Ia berlari dengan penuh kekhawatiran sambil menarik tali tambang pengikat leher indukan dan tangan satu lagi digunakan untuk menggendong anak kambing yang masih menyusu. Dengan dipenuhi rasa iba ia terus berlari dan berteduh di tepi sudut suatu rumah yang pintunya tertutup rapat. Ya, tentu cuaca redup di siang hari itu membuat penghuni rumah enggan ke luar rumah, meskipun untuk sekedar menengok peternak kecil bersama beberapa ekor ternaknya. Lucu sekali anak itu, terus tersenyum memandang hewan ternaknya.
***
Dek Mi, begitu sebutan akrab bagi yang mengenalnya. Hidupnya bahagia meski kadang kala tersakiti oleh keluarganya. Namun bagi Dek Mi, itu bukanlah masalah besar. Di desa, ia begitu amat disayangi oleh tetangga dan sanak saudaranya. Jika terjadi sesuatu yang membuatnya menangis, tak jarang orang yang dengan senang hati menghibur kesedihannya.
“Dek Mi tinggal kalih simbok wae ten omahe  simbok  timbangane simbokmu nesu-nesu wae. Owalah melase cah cilik ayu koyo ngene ko nelongso men” ujar ibu paruh baya di desanya.

Maafkan Aku, bu...



Hal ini baru terfikir  jika alangkah lebih baiknya jika aku menulis ini saja. Kisah hidup terindahku.
Hai, aku si Bungsu. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Aku adalah anak yang terlanjur dibuat amat berharga oleh Tuhanku. Dan, aku menyukai itu. Hidupku.

***

Ibuku tercinta.
Maa, aku pengen itu” pintaku merajuk saat usiaku masih anak-anak. Aku sering kali meminta ini dan itu. Manja sekali. Hal itu terus ku ulangi hingga aku memasuki masa remaja.
Ibu ku, tak pernah menunda apa yang ku mau. Ia rela mengorbankan apa yang ia punya demi membahagiakan anak-anak tercintanya. Tentu begitu, setiap ibu pasti memiliki hati sebening embun yang berkilau secerah emas dan permata. Bahkan Ibuku, lebih dari itu. Lebih daripada seorang ibu di muka umum. Ibuku, kau sungguh istimewa.

Si Bungsu ini sungguh naif, bu. Si Bungsu begitu buta dengan jutaan kebaikanmu. Kasih sayangmu yang begitu besar bahkan amat jarang terlihat di mataku. Ada apa denganku bu? Mengapa anak bungsumu menjadi seperti ini?

Tentu harusnya aku tahu, batapa sakit hatimu karena perkataanku. Juga harusnya aku tahu, betapa hancurnya hatimu karena perlakuan kasarku.

Aku bingung, aku sering melihat anak-anak sepertiku, yang tak mengerti pengorbanan orang tuanya. Begitu keji membalas cinta ayah ibunya. Melakukan hal sekecil debu saja selalu diingat-ingat, seolah kebaikan itu telah berbentuk. Harusnya anak-anak seperti aku ini menyadari, bahwa itu hanya ibarat debu, kecil sekali. Bila dibayangkan menjadi sebuah bentuk pun belum tentu terlihat. Berbeda dengan pengorbanan orang tua.

Untuk menebus kesalahanku, akan aku ceritakan kisah istimewa perjuangan Ibuku yang membesarkanku dengan tangannya yang halus dan penuh keletihan. Ibu, maafkan aku... Sumimasen

14-04-2015

Bungsu